Oleh: Jihan Alawiyah Harefa
Prodi : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Senin (10/8-2020), Manusia menurut perspektif al-Quran merupakan pandangan yang menyeluruh, seimbang tepat dan terpadu. Manusia itu bukan hanya sekedar sesuatu yang berwujud materi yang terdiri dari fisika, kimia, otot-otot mekanis sebagaimana pemikiran filosof-filosof materialistis.
Manusia juga bukan hanya roh yang terlepas dari sebuah raga sebagaimana pendapat sebagian kaum terpelajar. Manusia menurut al-Quran merupakan sesuatu yang terdiri dari jiwa dan raga yang keduanya saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu sama lain.
Manusia juga bukan binatang yang seakan habis riwayatnya serta lenyap hidupnya setelah mati dan bukanlah binatang dengan binatang-binatang lain. Manusia juga bukan merupakan makhluk yang paling tinggi yang tidak ada sesuatu di atasnya.
Akan tetapi, manusia merupakan makhluk yang memiliki kelebihan, keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang tinggi dengan notabene apabila ia tahu diri, berilmu serta mahu mempergunakan akalnya. Apabila ia jatuh meluncur ketingkat yang paling rendah, jelek, maka hilanglah kemanusiaannya dan juga ia berkedudukan lebih hina daripada binatang (Imam Bernadjib: 1987).
Proses transmisi pengaruh sosial ke dalam diri setiap individu yang dilakukan melalui dua cara, yaitu cara formal dan informal, pengetahuan dan keterampilan dipelajari oleh setiap individu melalui proses belajar formal dan sisitematik.
Hasil dari proses belajar formal terlihat dari tingkah laku verbal dan tercermin pada apa yang dipikirkannya.
Nilai dan pola tingkah laku dipelajari oleh individu melalui proses belajar informal, yaitu suatu proses imitasi (yang sebagian tidak didasarinya) dalam kontaknya dengan orang-orang yang berkewibawaan.
Para ahli berpendapat bahwasanya gaya hidup masyarakat itu meresapnya ke dalam diri setiap individu terjadi pada awal perkembangan kepribadiannya melalui interaksi dengan orang-orang dewasa, khususnya kedua orang tua.
Hubungan orang tua dengan anak sangat menentukan proses sosialisasi anak (Vembriarto: 1990)
Dalam sebuah lembaga formal yang sangat kompeten terhadap anak adalah guru. Seorang guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan tingkat keberhasilan si anak. Tugas guru adalah keterbukaan kejiwaan guru itu sendiri.
Keterbukaan ini merupakan suatu hal yang mendasari kompetensi profesional (kemampuan dan kewenangan melaksanakan tugas) keguruan yang harus dimiliki oleh setiap guru. Guru yang terbuka secara psikologis dapat ditandai dengan kesediannya yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya sendiri dengan faktor-faktor eksternal antra lain siswa, teman sejawat lingkungan pendidikan tempat bekerja.Ia mahu menerima kritik dengan ikhlas.
Di samping itu, seorang guru juga harus memiliki sikap empati, yakni adanya respon efektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu terhadap orang lain. Contohnya saja, jika salah seorang muridnya diketahui sedang mengalami kemalangan, maka ia ikut bersedih dan menunjukkan simpati serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat penting bagi seorang guru, terutama guru pendidikan Islam. Mengingat posisinya sebagai panutan siswanya. Muhibbin Syah dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan, mengungkapkan bahwasanya selain sisi positif yang dimiliki oleh seorang guru dalam keterbukaan psikologis yaitu:
Pertama, keterbukaan psikologis merupakan pra kondisi yang harus dimiliki oleh seorang guru agar dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain.
Kedua, keterbukaan psikologis sangat diperlukan untuk menciptakan sebuah suasana hubungan antar pribadi guru dan sisiwa yang harmonis, sehingga dapat memotivasi siswa untuk dapat mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan (Muhibbin Syah, 1995).
Jadi, ketika proses komunikasi psikologis ini terjadi, disinilah seorang guru telah membangun adanya rasa saling percaya kepada siswanya sehingga siswa secara psikologis akan lebih membuka diri terhadap komunikasi maupun informasi yang baru serta dapat mengubah pola fikir dan pola prilakunya. Dengan demikian proses pendidikan akan semakin menemukan bentuknya serta dapat mencapai tujuan pembelajaran secara lebih efektif.
Berdasarkan paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwasanya peran psikologis dalam pendidikan Islam sebagai menjembatani proses penyampaian ilmu pengetahuan agar lebih efektif serta sesuai dengan kematangan psikologi masing-masing peserta didik untuk lebih terbuka dalam hal informasi dan pengetahuan baru serta kesediaan menggunakannya dalam kehidupan sehai-hari.
Oleh karena itu dengan memperhatikan psikologi siswa dari para guru kepada sisiwa akan sangat menentukan keberhasilan dari proses transfer nilai-nilai serta karakter pada peserta didik.
-000-
Sumber Rujukan :
Bernadjib, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan FIP.
Syah, Muhibbin. 1995 . Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Vembriarto. 1990. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Andi Offset.
Identitas Penulis
Nama : Jihan Alawiyah Harefa
NIM : 0301172417
Prodi : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara [UINSU]
Peserta KKN-DR Kelompok 37