Mula Dokter Masuk Bisnis Kecantikan
Sebelum 1970-an, perawatan kecantikan belum melibatkan dokter. Kini, klinik kecantikan bertaburan dengan melibatkan dokter.
Melakukan perawatan kulit di klinik kecantikan sudah dilakukan Helen sejak akhir 2016. Ketika perawatan kulit sedang berjerawat¸ Helen merawat perawatan laser. Perawatan ini dikirim langsung oleh dokter kulit di klinik langganan Helen di Kemanggisan, Jakarta Barat.
Apa yang dilakukan Helen dilakukan oleh orang-orang di tahun 1950-an. Kala itu klinik kecantikan belum ada. Pilihan untuk perawatan kulit terbatas pada ramuan tradisional, produk-produk kosmetik, dan salon kecantikan.
Ramuan tradisional masih dipersiapkan oleh rumahan. Perekonomian masih sangat lemah, pabrik kosmetik belum ada di Indonesia. Kosmetik-kosmetik yang ada, produk luar negeri. Pembelajaran pun masih terbatas di kelas menengah-atas karena hanya barang langka dan mewah. Sementara itu, produk kosmetik dalam negeri belum muncul. Merek kosmetik dalam negeri pertama, Viva, baru keluar pada 1960-an.
Begitu masuk era Orde Baru, tulis Jean Couteau di dalam Pengusaha Dibalik Ilmu Kecantikan, pertumbuhan ekonomi meningkat dibarengi kenaikan jumlah kelas menengah. Daya beli masyarakat meningkat. Produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan. Kesadaran orang untuk merawat kulit meningkat. Perawatan dilakukan antara lain dengan membeli kosmetik.
“Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng, ”kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, kepada Historia .
Sjarif pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun. Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (sekarang dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Subbagian ini mulai dirumuskan sejak 1967 dan diresmikan pada 1 April 1970.
“Di situ dokter mulai ikut di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno.
Kami membangun citra, jadi dokter harus tetap di situ (perawatan kecantikan, red .), ”Kata Sjarif. Perawatan kecantikan, lanjut Sjarief, tidak mungkin lepas dari tidak kedokteran. Kosmetik atau zat lain yang dioles ke kulit pasti akan mempengaruhi pada kulit. Beberapa zat bahkan lebih penting daripada fungsi dan struktur kulit. Oleh karena itu, dokter harus ikut campur untuk menentukan efek samping dan keberlanjutan penggunaan dalam perawatan kulit.
Mulanya, datanglah dokter dalam perawatan kecantikan, dapatkan dari para ahli kecantikan. Pengobatan jerawat yang semula dipencet, misalnya, kemudian dikeluarkan oleh para dokter. “Mereka juga perlu saran dari kami (dokter, red. ). Saya Ingat pertemuan dengan Wijaya Kusuma, kami dikecam. 'Buat apa ngobatin jerawat harus begitu?'. Kalau kita kan harus pakai antibiotik dan lain-lain, ”kenang Sjarif.
Penolakan itu tak berlangsung lama.
Perawatan kulit yang diperlukan ahli medis Mulai diterima dan menjadi pilihan. Pada 1980-an sebuah klinik kecantikan bermunculan. Sebagian merupakan pengembangan dari salon kecantikan, sebagian lainnya adalah pengembangan dari praktik dokter kulit.
Sambil menambah klinik kecantikan, Departemen Kesehatan (Depkes) sampai mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Klinik Kecantikan tahun 2007. “Depkes disetujui karena terlalu banyak klinik kecantikan muncul.Sama Depkes dibenerin .
Harus ada syaratnya, tidak boleh hanya ada dokter untuk memenuhi persyaratan jadi klinik, ”kata Sajrif.
Masuknya dokter dalam lini kecantikan kemudian mengubah pola perawatan kulit di Indonesia. Namun, itu perlu dicatat orang yang memilih tetap merawat kulit dengan cara tradisional atau ke salon kecantikan. “Kulit orang sekarang bagus-bagus,” kata Sjarif.()
Apa yang dilakukan Helen dilakukan oleh orang-orang di tahun 1950-an. Kala itu klinik kecantikan belum ada. Pilihan untuk perawatan kulit terbatas pada ramuan tradisional, produk-produk kosmetik, dan salon kecantikan.
Ramuan tradisional masih dipersiapkan oleh rumahan. Perekonomian masih sangat lemah, pabrik kosmetik belum ada di Indonesia. Kosmetik-kosmetik yang ada, produk luar negeri. Pembelajaran pun masih terbatas di kelas menengah-atas karena hanya barang langka dan mewah. Sementara itu, produk kosmetik dalam negeri belum muncul. Merek kosmetik dalam negeri pertama, Viva, baru keluar pada 1960-an.
Begitu masuk era Orde Baru, tulis Jean Couteau di dalam Pengusaha Dibalik Ilmu Kecantikan, pertumbuhan ekonomi meningkat dibarengi kenaikan jumlah kelas menengah. Daya beli masyarakat meningkat. Produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan. Kesadaran orang untuk merawat kulit meningkat. Perawatan dilakukan antara lain dengan membeli kosmetik.
“Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng, ”kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, kepada Historia .
Sjarif pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun. Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (sekarang dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Subbagian ini mulai dirumuskan sejak 1967 dan diresmikan pada 1 April 1970.
“Di situ dokter mulai ikut di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno.
Kami membangun citra, jadi dokter harus tetap di situ (perawatan kecantikan, red .), ”Kata Sjarif. Perawatan kecantikan, lanjut Sjarief, tidak mungkin lepas dari tidak kedokteran. Kosmetik atau zat lain yang dioles ke kulit pasti akan mempengaruhi pada kulit. Beberapa zat bahkan lebih penting daripada fungsi dan struktur kulit. Oleh karena itu, dokter harus ikut campur untuk menentukan efek samping dan keberlanjutan penggunaan dalam perawatan kulit.
Mulanya, datanglah dokter dalam perawatan kecantikan, dapatkan dari para ahli kecantikan. Pengobatan jerawat yang semula dipencet, misalnya, kemudian dikeluarkan oleh para dokter. “Mereka juga perlu saran dari kami (dokter, red. ). Saya Ingat pertemuan dengan Wijaya Kusuma, kami dikecam. 'Buat apa ngobatin jerawat harus begitu?'. Kalau kita kan harus pakai antibiotik dan lain-lain, ”kenang Sjarif.
Penolakan itu tak berlangsung lama.
Perawatan kulit yang diperlukan ahli medis Mulai diterima dan menjadi pilihan. Pada 1980-an sebuah klinik kecantikan bermunculan. Sebagian merupakan pengembangan dari salon kecantikan, sebagian lainnya adalah pengembangan dari praktik dokter kulit.
Sambil menambah klinik kecantikan, Departemen Kesehatan (Depkes) sampai mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Klinik Kecantikan tahun 2007. “Depkes disetujui karena terlalu banyak klinik kecantikan muncul.Sama Depkes dibenerin .
Harus ada syaratnya, tidak boleh hanya ada dokter untuk memenuhi persyaratan jadi klinik, ”kata Sajrif.
Masuknya dokter dalam lini kecantikan kemudian mengubah pola perawatan kulit di Indonesia. Namun, itu perlu dicatat orang yang memilih tetap merawat kulit dengan cara tradisional atau ke salon kecantikan. “Kulit orang sekarang bagus-bagus,” kata Sjarif.()