■Somasi Pendeta Pdt. Pantas JR Lumban Tobing Pada Jemaatnya Terkait Spanduk Dugaan Etika Kesusilaan
Foto Spanduk dan surat somasi terkait narasi ini
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | JAKARTA-Sabtu(29/06), Setelah somasi yang dilayangkan Pendeta Ressort HKBP Tomang Barat (Pdt. Pantas JR Lumban Tobing) kepada jemaatnya : Franky Pakpahan dan Fernando Hutauruk, pihak parhalado dan pendeta yang bersangkutan tidak bersedia menemui dan melayani permintaan ke 2 jemaat tersebut untuk klarifikasi dan penjelasan di sela-sela sermon parhalado pada Kamis malam, 27 Juni 2019.
Kasus tersebut berawal dari adanya indikasi penyimpangan norma etika dan kesusilaan yang dilakukan oleh Pdt. Pantas JR Lumban Tobing pada pertengahan bulan Desember 2018. Kejadiaan tersebut disaksikan dan dilihat langsung oleh Pendeta fungsional HKBP Tomang Barat dan seorang jemaat putri. Sekalipun pendeta tersebut mengakui dan memohon maaf serta beranggapan permasalahan sudah dianggap selesai, padahal kejadian tersebut telah terjadi pelanggarn kode etik kependetaan (Tohonan Hapanditaon HKBP).
Berbagai upaya dilakukan oleh sintua emeritus, para natua-tua huria gereja ( orang yang dituakan dalam gereja ) dan Koor Ama untuk klarifikasi dan konfirmasi perihal kasus tersebut kepada pendeta ressort, parhalado ( para sintua ) bahkan sampai ke kantor Distrik VIII Jakarta Raya, namun hasilnya selalu terjadi penolakan dengan berbagai alasan.
Tragisnya, sebelum masalah bisa diselesaikan, jemaat putri yang melihat kejadian tersebut harus Berpulang kepangkuan Tuhan pada 18 Februari 2019 di RS.Graha Kedoya.
Dengan kesepakatan dan ijin oleh sintua emeritus serta para natua-tua huria gereja ( orang yang dituakan dalam gereja ), anggota koor ama memasang spanduk di area gereja HKBP Tomang Barat dengan harapan memberikan semangat dan penghiburan bagi keluarga besar serta sanak saudara almarhum. “SELAMAT JALAN YETTY BR.HUTAPEA PERJUANGAN MU UNTUK HKBP TOMANG BARAT AKAN KAMI LANJUTKAN“.
Melihat tidak adanya itikad baik atas penyelesaian permasalahan tersebut yang berlarut-larut, serta terjadinya pro kontra dan perpecahan di kalangan jemaat, puncaknya, jam 21.30 malam, 9 Maret 2019, beberapa anggota koor ama berinisiatif memasang spanduk susulan dengan berisi “OPSI TIDAK PERCAYA KEPADA PENDETA RESSORT HKBP TOMANG BARAT ATAS TINDAKAN PENYIMPANGAN MORAL DAN ETIKA SERTA MEMINTA PIMPINAN HKBP PUSAT MENYELAMATKAN GEREJA HKBP TOMANG BARAT”.
Namun pada esok pagi harinya 07.00, 10 Maret 2019 spanduk diturunkan oleh beberapa sintua dan calon sintua serta beberapa jemaat pendukung pendeta.
Selasa, 2 April 2019, team investigasi Distrik VIII yang dipimpin oleh Pdt. Japati Napitupulu dan beberapa pendeta distrik VIII melakukan dengar pendapat dengan memberikan kesempatan kepada ke 2 kelompok untuk memaparkan hasil temuan / opini / masukan.
Warta Konven Pangula Na Gok Tingki HKBP Distrik VIII Jakarta Raya, HKBP Kayu Putih, Senin, 3 Juni 2019, tertulis SK yang belum terlaksana : Pdt.Pantas JR Lumbantobing Pendeta Ressort HKBP Tomang Barat menjadi Pendeta HKBP Ressort Kota Waringin Barat Distrik XVII Indonesia Bagian Timur.
Setelah munculnya SK dari pimpinan pusat HKBP, sikap arogansi kekuasaan dan penyalagunaan kewenangan ditunjukan oleh pendeta ressort dan jajaran parhalado pendukungnya melalui sikap diskriminasi dan resisitensi terhadap Komunitas Kategorial KOOR AMA HKBP Tomang Barat, antara lain :
1) Menghentikan segala bentuk program kegiatan dan anggaran kegiatan koor ama HKBP Tomang Barat, antara lain :
a) Kegiatan dan anggaran menyambut kunjungan rohani Koor Ama HKBP Menteng jalan jambu ( 10 Maret 2019 );
b) Kegiatan kunjungan Koor Ama dalam rangka parheheon Koor Ama HKBP Pekalongan ( 26 Mei 2019 );
c) Kunjungan Kasih : Gereja HKBP Immanuel Metro Permata Ciledug ( 30 Mei 2019 );
d) Undangan Festival koor ama se jakarta barat yang dikirim oleh Panitia Festival langsung ke gereja, tidak disampaikan ke seksi ama ( 5 Juni 2019 );
e) Menghadiri seminar sehari : “Masa depan Gereja Batak & Masa depan Gereja Batsk” di GKPB Pulomas ( 15 Juni 2019 );
f) Transport dirigen koor ama dihentikan tanpa alasan yang jelas ( sejak februari 2019 s/d saat ini );
2) Mengeluarkan statement melalui sintua parartaon bahwa guru koor ama an.Ganda Panjaitan telah dikeluarkan sebagai jemaat HKBP Tomang Barat dan hal tersebut sebagai jawaban atas poin 1 diatas;
3) Adanya upaya dan indikasi menghadirkan “Koor Ama Tandingan” dengan tidak melalui prosedur HKBP yang ada dan berlaku;
4) Pemilihan panitia HUT Gereja ke 31 terkesan memperuncing perpecahan antar jemaat, karena panitia yang dipilih hanyalah jemaat dan sintua yang mendukung kasus pendeta, sehingga tidak ada upaya menjalin rekonsiliasi antar jemaat yang terpecah;
5) Adanya upaya uluan HKBP Tomang Barat mempertahankan diri agar tidak pindah (padahal SK sudah terbit) hanya saja cara yang ditempuh dengan mengumpulkan massa (jemaat dan parhalado) dengan melakukan dukungan yang tidak simpatik dan cenderung memperlebar jurang perpecahan jemaat.
Puncaknya, munculah somasi yang dikeluarkan Kantor Hukum : Sanggam L.Tobing, SH & Rekan yang telah dikuasakan oleh Pdt. Pantas JR Lumban Tobing selaku Pendeta Ressort HKBP Tomang Barat dan penerima somasi :
1) FrankyPakpahan;
2) Fernando Hutauruk.
Sangat Memalukan, adanya pendeta yang menimbulkan persoalan di jemaat akibat dari ketidak mampuannya sebagai teladan dan role model serta membawa jemaatnya kejalur hukum karena jemaatnya berani menegor melalui spanduk.
Hal yang langka dan jarang terjadi di lembaga keagamaan di Indonesia, padahal seorang Pendeta memiliki tugas sebagai pemberita injil, liturgi, dan pelayan diakonia,selain itu tugas pokok sebagai pemelihara kesatuan umat.
Pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini menjadi Pendeta di kota-kota besar, seperti di Jabodetabek misalnya, biarlah itu atas kepatutan dan kompetensi pendeta yang bersangkutan, bukan karena kedekatan lainnya atau transaksional sebagaimana sudah bukan rahasia umum akhir-akhir ini.
Bila iklim kehidupan di dalam bergereja tidak kondusif maka pelayanan juga akan tidak baik. Konflik berkepanjangan merusak iklim gereja, gairah, persatuan, dan komunikasi. Jelang usia ke 31 tahun bulan Agustus nanti, Gereja HKBP Tomang Barat dibawah kepemimpinan Pdt. Pantas JR Lumban Tobing sudah mengalami kerusakan yang kritis, antara lain :
1) Bubarnya 2 paduan suara gabungan yang selama ini exsist dalam pelayanan gereja (PS.Efrata dan PS. Marturia);
2) Beberapa ketua paduan suara yang mengundurkan diri dari pelayanan;
3) Perpecahan anggota/jemaat dalam tubuh-tubuh kategorial, paduan suara, bahkan antar jemaat yang masih bersaudara;
4) Semakin sepinya jemaat yang bergereja di ibadah minggu pagi dan sore begitu juga partangiangan wijk;
5) Beralihnya jemaat untuk beribadah ke gereja-gereja lain;
6) Pelaksanaan Program Pelayanan tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar;
7) Sudah 2 tahun hasil kerja Badan Audit Huria tidak diakui, terbukti dengan tidak transparannya seluruh laporan keuangan huria yang akan diperiksa oleh Badan Audit Huria;
8) Tidak jelasnya pertanggung jawaban Parartaon mengenai asset huria;
9) Rapat huria untuk membahas anggaran 2019 dilaksanakan pada bulan April 2019 tanpa adanya persiapan, terbukti dengan tidak adanya laporan keuangan 2018 sebagai pertanggung jawaban Parhalado ke huria dan tidak adanya rencana penerimaan 2019 yang jelas, tetapi Parhalado mengajukan rencana pengeluaran 2019;
10) Sampai pertengahan Juni 2019 Notulen Rapat Huria belum dibagikan kepada para peserta Rapat Huria, tetapi anggaran 2019 tersebut tetap berjalan.
Gereja seharusnya menjadi lembaga peredam konflik, dimana konflik harus dideteksi dan diselesaikan sejak dini sehingga tidak berkembang sampai pada masa kritis seperti saat ini dialami HKBP Tomang Barat. Beberapa hal yang menjadi perhatian dan pembelajaran atas permasalahan tersebut, al :
1) Gereja harus memilih beberapa Natua tua Huria (Orang yang dituakan di gereja) yang dipercayai dan diyakini sebagai pembimbing/penasihat dalam setiap kondisi gereja yang mengarah kepada konflik atau tidak kondusif;
2) Fokus untuk menyelesaikan masalah (problem solving). Pengeloaan konflik yang baik dan benar adalah dengan fokus pada masalah. Dengan demikian kita dapat melakukan identifikasi tentang akar yang menjadi penyebab persoalan serta mencari langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Langkah ini memang membutuhkan waktu tetapi dapat menyelesaiakan akar persoalan.
Problem solving adalah sebuah mindset yang membawa seseorang berpikir positif untuk mencari jalan keluar dari permasalahan. Gereja dan perangkatnya harus memahami problem solving, sehingga perlu ditanamkan keinginan jemaat untuk menyelesaikan setiap konflik dalam gereja. Dari sana mereka yang berkonflik harus fokus pada masalah (problem oriented), bukan pada pribadi yang berkonflik (person oriented).
Selanjutnya keterbukaan dari pihak yang berkonflik untuk berdialog mencari jalan keluar bersama. Bila timbul kesepahaman antar pihak yang berkonflik sehingga tidak tercipta jarak, akibatnya persoalan/konflik tidak mengambang dan menutup ruang dan kesempatan berkembangnya persoalan lebih besar lagi.
3) Memperbaiki relasi.
Pasca penyelesaian masalah harus diikuti dengan memperbaiki hubungan antara pihak yang berkonflik untuk memulihkan luka batin, kebencian dan dendam. Ini yang disebut sebagai rekonsiliasi, dimana pihak yang berkonflik duduk bersama, membuka hati dan saling memaafkan dan akhirnya menerima satu sama lain dan tidak ada diksi ‘menang-kalah’.
4) Perubahan sistem. Seringkali sistem bisa menjadi penyebab konflik, maka langkah selanjutnya harus merubah sistem yang tidak menolong dalam persekutuan, seperti aturan, keputusan, dsb.
5) Terbuka melakukan perubahan dan inovasi dengan meningkatkan kualitas Ibadah, Kotbah dan Pelayanan Firman menjadi menarik, inovatif dan kreatif.
a) Sepatutnyalah tata ibadah boleh dikemas sedemikian rupa sehingga menarik bagi lintas usia terutama komunitas milenial.
b) Kiranya ibadah itu esensial, efektif dan efisien. Ibadah dan pemberitaan firman Tuhan/jamita jangan "asal ada”;
c) Pelayanan pujian Paduan suara diberikan jadwal bulanan dan bukan kejar tayang tiap minggunya, sehingga yang berkualitaslah yang diijinkan menyanyi pada ibadah Minggu.
Sesungguhnya paduan suara adalah "tangan kanan Pengkhotbah"
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa di dalam gereja, konflik tidak dapat dihindari dan menjadi bagian dari dinamika ditengah-tengah gereja pada umumnya.
Menghindarinya adalah tindakan yang tidak cerdas dan kekanak-kanakan, memperjuangkannya untuk sekedar memenangkannya adalah tindakan egois dan tidak membangun apa-apa, mengelolahnya supaya menjadi proses belajar yang membangun hubungan antar pribadi dan komunitas, itulah yang harus dilakukan supaya gereja terus bertambah, bertumbuh dan berbuah.(*)
■Ganda Panjaitan
Penulis dan Pemerhati Gereja Batak
■MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN