Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) menyaksikan Penyidik KPK memperlihatkan barang bukti terkait OTT Suap Walikota Cilegon di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (23/9).
Sumber : ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd/17.
Penulis :
Obor Panjaitan
Media Nasional Obor Keadilan|Jakarta – Selama 17 tahun terakhir Kota Cilegon hanya dipimpin oleh satu keluarga. Setelah (Alm) Aat Syafaat menjabat Walikota Cilegon periode 2000-2005 dan kembali terpilih untuk periode 2005-2010, jabatan Walikota Cilegon jatuh ke tangan anaknya, Tubagus Iman Ariyadi untuk periode 2010-2015 dan 2015-2020.
Namun malang bagi Tubagus Iman, jabatan periode keduanya baru separo jalan dia dipaksa meringkuk di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah anak buahnya terjaring operasi tangkap tangan KPK. Tubagus Iman diduga menerima suap Rp1,5 miliar terkait perizinan sebuah Mal di kawasan industri yang dikelola oleh PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC).
Sebelumnya, (Alm) Tubagus Aat Syafaat, ayah Tubagus Iman, adalah terpidana kasus korupsi proyek pembangunan tiang pancang Pelabuhan Kubangsari senilai Rp49,1 miliar. Majelis Hakim yang menangani perkaranya menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan dan denda Rp400 juta subside 3 bulan kurungan kepada almarhum.
Setelah berhasil meneruskan jabatan ayah kandungnya menjadi Walikota Cilegon, pada jabatan periode keduanya, atas restu Gubernur Banten Tubagus Iman mengangkat kakak kandungnya sendiri, Ati Marliyati, menjadi Sekretaris Kota Cilegon.
Bahkan Ati Marliyati dengan didampingi Wakil Walikota Cilegon Edy Aryadi dan sejumlah Pejabat Pemkot sempat memberikan keterangan kepada Pers di ruang rapat walikota pada Sabtu (23/9), sekaligus mengklarifikasi pemberitaan bahwa tidak benar adik kandung yang sekaligus atasannya itu terkena OTT KPK.
ket Gambar : Sekertaris Kota Cilegon yang juga kakak kandung Walikota Iman Aryadi Ati Marliyati (kanan) didampingi Wakil Walikota Edy Aryadi (kiri) memberi keterangan pers terkait penahanan Iman Aryadi oleh penyidik KPK di Cilegon, Banten, Sabtu (23/9).
Sumber : ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/pd/17
Ati menjelaskan kronologi penengkapan, adiknya mendatangi kantor KPK pada pukul 23.00 malam menemui anak buahnya yang terjaring OTT KPK. Saat mendengar kabar anak buahnya terkena OTT KPK, jelas Ati, Walikota sedang bersama dirinya menghadiri acara keluarga di Jakarta.
“Iman tidak terjaring OTT KPK, hanya saja saat dimintai klarifikasi oleh KPK kemudian dia mendatangi kantor KPK. Demi Allah demi Rasullulah Pak Wali sedang bersama saya sedang acara keluarga di Jakarta,” tandas Ati.
Kronologi OTT
Memang, berdasarkan kronologi yang dibuat oleh KPK sendiri, penangkapan tidak sekaligus seperti menjaring ikan di kolam. Melainkan secara bertahap. Personil bagian penindakan KPK sendiri bergerak ke Cilegon pada siang hari.
Pertama, pada Jumat (22/9) sekitar pukul 15.30 waktu setempat, Tim KPK membekuk YA, CEO Cilegon United Football Club sesaat setelah lakukan penarikan uang Rp 800 juta di Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Cilegon. Di tempat itu Tim KPK mengamankan YA dan 3 orang staffnya.
Dari sana Tim KPK cepat bergerak ke kantor Cilegon United Football Club dan mengamankan uang Rp 352 juta. Uang yang Rp 352 juta itu diduga sisa dana pemberian pertama dari PT KIEC kepada Cilegon United Footbal Club sebesar 700 juta. Sebelumnya KPK sudah mengantongi data adanya transfer Rp800 juta pada Rabu (13/9) lalu. Jadi ada dua kali transfer, masing-masing Rp800 juta dan Rp700 juta.
Secara hampir bersamaan tim KPK lainnya bergerak mengamankan Bayu Dwinanta Utama selaku Project Manager PT BA beserta satu staff dan seorang sopir yang langsung dibawa ke kantor KPK di Jakarta.
Di saat yang hampir bersamaan pula, Tim KPK mengamankan Eko Wandara Dahlan selaku legal manager PT KIEC di daerah Kebon Bawang, dan Kepala Badan Perizinan Terpadu dan (BPTPM) Penanaman Modal Kota Cilegon Ahmad Dita Prawira di Kota Cilegon.
Baru menjelang tengah malam, tepatnya, Jumat (22/9) pukul 23.30 waktu setempat, Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi mendatangi Gedung KPK setelah ditelepon untuk dimintai klarifikasi terkait OTT yang menjerat anak buahnya. Pada Sabtu (23/9) pada pukul 14.00, Hendri selaku pimpinan perusahaan yang diduga melakukan suap mendatangi gedung KPK
Baru pada Sabtu (23/9) pukul 17.33 waktu setempat, KPK mengumumkan 6 orang tersangka masing-masing 3 orang sebagai penerima suap, masing-masing Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, Kepala BPTPM Ahmad Dita Prawira, dan Hendi dari pihak swasta
Sedangkan 3 orang lainnya masing-masing Bayu Dwinanta Utama selaku project manager PT BA, Direktur Utama KIEC Tubagus Doni Sugihmukti dan Eko Wandara Dahlan selaku legal manager KIEC dijadikan tersangka pelaku suap.
Dinasti Politik
Tertangkapnya Tubagus Iman Ariyadi dalam kasus korupsi setelah ayah kandungnya, walikota Cilegon pendahulunya menjadi terpidana korupsi, juga menunjukkan betapa akutnya raja-raja kecil di daerah membangun politik dinasti. Gejala itu bukan hanya terjadi di Cilegon, melainkan juga Provinsi Banten dan sejumlah Provinsi, Kabupaten dan Kota lainnya di Indonesia.
Sebenarnya untuk mencegah terjadinya politik dinasti, pemerintah dan DPR telah melakukan perubahan terhadap UU Pemilu Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagaimana tercantum pada Pasal 7 huruf r UU Nomer 9 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No 1 Tahun 2015 tentang Pemilu Gubernur, Bupati dan Walikota.
Sayangnya ketentuan UU yang mencegah terjadinya politik dinasti yang sudah akut menggejala di sejumlah wilayah Indonesia itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan pembatalan itu dibacakan oleh Hakim MK Patrialis Akbar yang akhirnya terjerat OTT oleh KPK.
Hakim MK memutuskan, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
“Tidak ada penafsiran yang sama tentang frasa tidak memiliki kepentingan dengan petahana. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang potensial menimbulkan kerugian konstitusional,” ujar Hakim Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan majelis hakim.
Penjelasan Pasal 7 huruf f sebelumnya memberikan beberapa batasan definisi frasa ‘tidak memiliki konflik kepentingan’, antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu.
Sebelumnya, aturan pasal 7 huruf f tidak berlaku jika sang petahana telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Uji materi atas Pasal 7 UU No. 9 Tahun 2015 itu dimohonkan seorang anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan yang juga berstatus anak Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo. Saat mengajukan uji materi Adnan sedang menjajaki jalan untuk mencalonkan diri menjadi calon bupati Gowa dari Partai Golkar.
Akibatnya dinasti politik kini semakin meraja-lela di sejumlah daerah, antara Klaten, Provinsi Banten, dan banyak tempat lainnya di Indonesia.[OK]
Sumber © Nusantara.news 2017
Editor : Obor Panjaitan