Foto : MUHAMMAD NAJIB
Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sumatera Utara - Medan.
MUHAMMAD NAJIB
Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sumatera Utara - Medan.
Pergulatan pemikiran dan pergerakan mahasiswa dalam pendidikan tengah berada pada fase-fase kepengapan diera generasi millennial ini. Generasi Millennial ini lahir ditahun 1985-2000 yang dikenal malas dan narsis, terbukti faktanya lebih dari 63% pekerja dari generasi millennial memiliki latar belakang pendidikan sarjana (S-1). Rata-rata mereka berusia antara 18-29 tahun, setengahnya bekerja paruh waktu (sambil kuliah). Generasi ini juga dikenal cenderung idealis, egosentris, terlampau optimis dan tidak realistis. Saat terbentur masalah cenderung berpikir pendek, cari jalan pintas dan lari dari kenyataan.
Mahasiswa generasi millennial ini tak lagi mencari kebenaran tapi membenarkan apa yang dirasa benar, tak dipungkiri banyak dari mahasiswa saat ini kehilangan arah dan tajinya dalam mengkaji dan mengutarakan keilmuannya serta memetakan naluri kemahasiswaannya yang harusnya kritis, akademis, aktivis, dan agamis. Hal ini bukan hanya sekedar opini saja, namun telah menjadi bukti salah satunya hilangnya kehadiran mahasiswa dalam pengkajian keilmuan atau memunculkan suatu terobosan baru dalam aktivitas pergerakan atau dalam karya lahiriah lainnya.
Modernisasi keilmuan yang berbasis kecepatan teknologi saat ini telah menggilas ribuan syaraf dibrain mahasiswa saat ini. Saat ini penulis merindukan sosok mahasiswa Indonesia terdahulu yang intelektual seperti Lafran Pane, Nur Cholis Madjid, Moh. Djasman, Makmun Syukri, Mahbub Djunaidi, Sri Soemantri Martosoewignjo dan masih banyak lagi. Merekalah generasi X yang telah mampu memupuk semangat juang mahasiswa dan berhasil mengedepankan karyanya daripada hal-hal yang berbau deviasi. Namun jauh sebelum mereka, Indonesia telah memiliki banyak sosok mahasiswa yang berhasil menelurkan karya-karya pemikirannya dan aksi perjuangannya seperti Tjokroaminoto, Tan Malaka, Soe Hok Gie, Soekarno, Moh. Hatta dan masih banyak lagi.
Mengulas sejarah perjuangan dan eksistensi mereka, mungkin terasa sesak didada, tertunduk malu dan bungkam seribu bahasa. Bagaimana tidak demikian, mereka mampu menggelorakan semangat juangnya kepada mahasiswa saat ini namun sayang karena terjadinya disintegrasi antar mahasiswa, menyebabkan mahasiswa saat ini seolah tak mampu untuk melanjutkan perjuangan mereka, konon lagi membuat gebrakan baru yang timbul dari inisiatifnya. Disisi lain mahasiswa telah berproses keluar dari porosnya. Ketatnya persaingan dikalangan mahasiswa menuju yang terbaik, inilah yang menjadi tembok besar bagi mahasiswa untuk menemukan passion nya. Akhirnya, mahasiswa menurut analisis penulis tersebar menurut pola pikirnya masing-masing. Ada mahasiswa plegmatis, hedonis, agamis, akademis, aktivis, bahkan yang lebih parahnya hampir sebahagian besar mahasiswa saat ini bersifat pragmatis. Analisis ini boleh pembaca uji, atau bahkan penulis sendiri pun masuk kategori parah tersebut.
Perlahan namun pasti pola pikir yang terbentuk ini akibat bobroknya dunia pendidikan disetiap jenjang di Indonesia saat ini. Diperparah, akibat lemahnya kemampuan mahasiswa dalam melihat peluang dan tantangan diera globalisasi saat ini. Dan diperburuk lagi, mahasiswa saat ini kekurangan kepercayaan diri, kedisiplinan dan ketidaksiapan mental dalam bersaing sehingga terjadilah deviasi yang membuat tidak ditemukannya passion mahasiswa saat ini. Padahal passion merupakan indikator utama dalam berkarya.
Mahasiswa sesungguhnya tengah disuguhi ghazwul fikr yang melahirkan disintegrasi sosial, penyempitan peluang berpendapat dan berkarya, kehilangan jati diri, dan diperburuk derasnya pemikiran tentang pemisahan urusan kemahasiswaan dengan urusan agama.
Sebagai konklusi dari tulisan ini, penulis sebagai mahasiswa ingin membawa pesan perdamaian dan persatuan antar mahasiswa manapun, siapapun, dan dimanapun. Ki Hajar Dewantara menggagas pendidikan karena ingin bangsanya pintar dan berdikari, jauh sebelumnya Tan Malaka, Soekarno, Jenderal Sudirman dan pejuang lainnya menumpahkan darahnya mati-matian hanya untuk bangsanya agar berdikari, merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta harusnya tugas mahasiswa lah untuk menjaga warisan kemerdekaan ini dengan karya bukan dengan keterpecahan antar anak bangsa apalagi karena berbeda pandangan, berbeda haluan, berbeda ideologi dan masih membahas perbedaan setelah 72 tahun merdeka. Bukankah perbedaan merupakan hal yang lumrah? Bukankah kemerdekaan diraih karena bersatunya pemuda?
Mari mahasiswa, bersama kita raih kemerdekaan diri kita dan kemerdekaan dalam indahnya merajut kebersamaan.
*Agent Of Change, Agent Of Social Control*
Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat
MUHAMMAD NAJIB